Jumat, 26 November 2010

ancaman keanekaragaman hayati

Ancaman Keanekaragaman Hayati
Ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia umumnya disebabkan oleh kerusakan dan pemanfaatan yang berlebihan. Fenomena perubahan iklim akhir-akhir ini juga merupakan suatu ancaman serius bagi keberlangsungan hidup keanekaragaman hayati di Indonesia. Dengan naiknya suhu global rata-rata permukaan bumi sebesar 1,5 – 2,5oC risiko kepunahan tumbuhan dan hewan akan meningkat menjadi sebesar 20 – 30 %.
6.2.1. Perubahan Ekosistem
Ancaman yang paling utama dalam pelestarian ekosistem hutan adalah kebakaran hutan dan lahan, illegal logging, pemanfaatan sumber daya hayati yang berlebihan, perambahan kawasan hutan, dan eksploitasi yang bersifat destruktif turut memberikan andil
besar dalam proses deforestasi dan degradasi lingkungan yang dapat mengancam keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Pada tahun 2007, luas kawasan hutan di Indonesia yang terbakar mencapai 6.974,62 hektar (ha). Dari luasan hutan yang terbakar itu, 228 ha adalah hutan lindung, 349,6 ha merupakan hutan suaka alam, 40 ha taman wisata alam, 4 ha taman hutan raya, 86 ha taman buru dan 5.256,42 ha merupakan taman nasional. Selama tahun 2007 pula, tercatat berbagai gangguan yang mengancam eksistensi dan kondisi kawasan hutan. Gangguan berupa penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat mencapai luasan 32.678,39 ha, sedangkan gangguan terhadap tegakan hutan berupa penebangan ilegal diperkirakan telah mengakibatkan kehilangan kayu sebanyak 3.650,59 m3 kayu bulat.
6.2.2. Perburuan dan Perdagangan Ilegal Satwa Liar
Perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup satwa tersebut. Tingginya harga barang-barang kerajinan yang berasal dari bagian tubuh satwa liar merupakan pemicu peningkatan perburuan dan perdagangan ilegal
satwa liar. Kuota tangkap monyet ekor panjang kembali naik. Untuk tahun 2008, berdasarkan rekomendasi dari LIPI, kuota tangkap keseluruhan adalah 5.100 ekor, dengan rincian 2.000 ekor untuk induk penangkaran, 3.000 untuk riset biofarma, dan 100 ekor untuk PS IPB. Kuota tangkap ini belum disahkan oleh Departemen Kehutanan atau masih dalam proses. Pada tahun 2007, kuota tangkap monyet ekor panjang 4.100. Sedangkan pada tahun 2006, kuota tangkap dari alam untuk monyet ekor panjang adalah 2.000 ekor yang dimanfaatkan hanya untuk pengganti induk tangkar
6.2.3. Konflik Manusia dan Satwa
Konflik antara manusia dan satwa liar cenderung semakin meningkat. Konflik ini terjadi karena aktivitas manusia di sekitar habitat satwa liar semakin tinggi yang mengganggu ketersediaan air, satwa mangsa dan ruang jelajah bagi satwa liar tersebut. Kerusakan
tanaman pertanian dan perkebunan serta ternak sering terjadi akibat konflik antara manusia dan satwa liar. Namun pada akhirnya seringkali satwa liar yang berkonflik dengan manusia ini yang menjadi korban. Berdasarkan hasil patroli Wildlife Response Unit di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, pada sekitar bulan Maret dan April 2008 telah terjadi konflik
antara manusia dan harimau yang mengakibatkan kerugian 5 ekor kambing, 3 ekor anjing dan 1 orang korban jiwa serta 1 ekor harimau.
6.2.4. Sumber Daya Genetik
Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya genetik (SDG) belum memanfaatkan SDG asli Indonesia secara optimal. Banyak SDG yang dibudidayakan dan dimanfaatkan di Indonesia berasal dari negara lain. Sebaliknya, negara lain sudah banyak memanfaatkan SDG yang berada di Indonesia. Banyak SDG Indonesia diteliti dan dimanfaatkan negara lain untuk dijadikan obat komersial dan dipatenkan. Apabila pemanfaatan SDG Indonesia ini terus dibiarkan, kondisi ini akan menjadi ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Penggunaan varietas unggul secara monokultur, juga akan menggusur varietas lokal dan mempersempit basis genetis tanaman pertanian yang akhirnya berpotensi terhadap kepunahan varietas lokal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar